Langsung ke konten utama
TUGAS KELOMPOK AGAMA HINDU
“FILSAFAT HINDU”
 





                                                                
OLEH:
1.      I Kadek Krisna Sandika Deva                                                      (04)
2.      I Made Adhi Januartajaya                                                            (05)
3.      Kadek Sephia Dwiyanti                                                               (06)
4.      Ni Kadek Ayu Sari                                                                       (08)
5.      Ni Kadek Lia                                                                                 (09)
6.      Ni Kadek Puja Melani Putri                                                         (10)
7.      Ni Luh Putu Diah Kusuma Dewi                                                 (11)
8.      Ni Made Dwi Wahyuni Aprilia                                                    (12)
9.      Ni Luh Putu Indah Putri Dewanti                                                (13)
10.  Ni Wayan Okky Zenia Dewi                                                        (14)
11.  Ni Wayan Sri Ayuni                                                                     (15)
12.  Ni Wayan Sutarmiasih                                                                 (16)
13.  Putu Winiastiti                                                                              (17)
X AKUNTANSI


SMK TI BALI GLOBAL JIMBARAN
Tahun Ajaran 2018/2019


Daftar Isi





Kata Pengantar


Om Swastyastu,
Atas Asung Kertha Wara Nugraha Ida  Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) kami telah dapat menyusun/menyelesaikan makalah Agama Hindu ini. Adapun tujuan judul makalah yang kami sajikan ini adalah “ Filsafat Hindu ”.
Semoga kehadiran makalah ini akan memberikan nuansa baru dalam pengajaran khususnya agama Hindu. Sudah tentu kehadiran makalah ini banyak terdapat kelemahan dan kekurangannya. Tegur sapa dan kritik yang membangun sangat saya harapkan demi sempurnanya makalah ini semoga bermanfaat bagi kita semua.
Om, Santi, Santi, Santi, Om.

Badung, Januari 2018

Penulis











BAB I

PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang

Ajaran atau benih-benih filsafat India sebenarnya sudah dimulai sejak jaman Weda (6000-1000 Sebelum Masehi) pada saat kitab-kitab Mantra Samhita disusun.Perkembangan lebih jelas terlihat ketika kitab-kitab Upanisad disusun sekitar tahun 800-300 Sebelum Masehi, tidak jauh dengan masa tersebut disusun pula kitab-kitab Wiracarita (Ramayana dan Mahabharata juga Purana).
Kata Darsana berasal dari akar kata drś yang bermakna "melihat", jadi kata darśana yang berarti "penglihatan" atau "pandangan". Dalam ajaran filsafat hindu, Darśana berarti pandangan tentang kebenaran. Sad Darśana berarti Enam pandangan tentang kebenaran, yang mana merupakan dasar dari Filsafat Hindu. Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk memudahkan pemahaman terhadap ajaran yang terkandung dalam kitab suci. Dengan mempelajari Darsana akan lebih mudah mempelajari kitab suci. Darsana memberikan pencerahan (kejernihan) bagi umat dalam memahami serta mengamalkan ajaran agamanya.
Filsafat hindu bukan hanya merupakan spekulasi atau dugaan belaka, namun ia memiliki nilai yang amat luhur, mulia, khas dan sistematis yang didasarkan oleh pengalaman spiritual mistis. Sad darsana yang merupakan 6 sistem filsafat hindu, merupakan 6 sarana pengajaran yang benar atau 6 cara pembuktian kebenaran.
Adapun bagian-bagian dari Sad Darsana adalah:(1) Nyaya, didirikan oleh Maharsi Aksapada Gotama, yang menyusun Nyayasutra, terdiri atas 5 adhyaya (bab) yang dibagi atas 5 pada (bagian). Kata Nyaya berarti penelitian analitis dan kritis.Ajaran ini berdasarka pada ilmu logika, sistematis, kronologis dan analitis. (2) Waisasika, pendirinya ialah Kanada dan penekanan ajarannya pada pengetahuan yang dapat menuntun seseorang untuk merealisasikan sang diri. (3) Samkhya, menurut tradisi pendirinya adalah Kapita. Penekanan ajarannya ialah tentang proses perkembangan dan terjadinya alam semesta. (4) Yoga, pendirinya adalah Patanjali dan penekanan ajarannya adalah pada pengendalian jasmani dan pikiran untuk mencapai Samadhi. (5) Mimamsa (Purwa-Mimamsa), pendirinya ialah Jaimini dengan penekanan ajarannya pada pelaksanaan ritual dan susila menurut konsep weda.Wedanta (Uttara-Mimamsa), kata ini berarti akhir Weda. (6) Wedanta merupakan puncak dari filsafat Hindu. Pendirinya ialah Sankara, Ramanuja, dan Madhwa.Penekanan ajarannya adalah pada hubungan Atman dengan Brahman dan tentang kelepasan.





Sarasamucaya II:2
Manusah sarwabhutesu wartteate wai subhasubhe
Asubhesu samawistam subheswewawakarayet

Artinya:
“Diantara semua makhluk, hanya manusia jugalah yang dapat melaksanakan dan membedakan perbuatan baik maupun perbuatan yang buruk.Justru dalam melebur yang buruk menjadi lebih baik itulah merupakan tujuan hidup (pala) menjadi manusia”.




1.2 Rumusan Masalah

1.       Bagaimana Sad Darsana sebagai filsafat Hindu?
2.       Filsafat Hindu, terbagi menjadi berapa?

















BAB II

PEMBAHASAN



1.1. Sad Darsana sebagai Filsafat Hindu

Dalam tradisi intelektual India Darsana merupakan padanan yang paling mendekati istilah filsafat (barat), namun secara esensial ada perbedaan yang sangat mendasar, filsafat (barat) terlepas dari agama sedangkan darsana tetap mengakar pada agama Hindu. Kata darsana berasal dari urat kata ‘drs’ yang berarti melihat (ke dalam) atau mengalami, menjadi kata darsana yang artinya penglihatan atau pandangan tentang realitas. ‘Melihat’ dalam koteks ini bisa bermakna observasi perseptual atau pengalaman intuitif. Secara umum ‘darsan’ berarti eksposisi kritis, survei logis, atau sistem-sistem, yang lebih lanjut menurut Radhakrisnan kata ‘darsana’ menandakan sistem pemikiran yang diperoleh melalui pengalaman intuitif dan dipertahankan, diberlanjutkan melalui argumen logis. Kata darsana sendiri dalam pengertian filsafat pertama kali digunakan dalam Waisesika sutra karya Kanada.
Filsafat Hindu (darsana) merupakan proses rasionalisasi dari agama dan merupakan bagian integral dari agama Hindu yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Agama memberikan aspek praktis ritual dan darsana memberikan aspek filsafat, metafisika, dan epistemology sehingga antara agama dan darsana sifatnya saling melengkapi. Darsana muncul dari usaha manusia untuk mencari jawaban-jawaban dari permasalahan yang sifatnya transenden, dan yang menjadi titik awalnya adalah kelahiran dan kematian. Mengapa manusia itu lahir?, apa yang menjadi tujuan kelahiran manusia? dan apa yang hilang ketika manusia mati?, pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi titik awal dari darsana.
Filsafat Hindu sering kali dianggap Atman sentris, artinya semuanya dimulai dari Atman dan akhirnya berakhir pada Atman. Dalam proses pembelajarannya selalu mengarahkan pada tujuan hidup tertinggi yaitu Moksa, semua proses pikiran dan perasaan selalu diarahkan menuju tujuan tersebut. Sehingga filsafat Hindu bukanlah proses pemikiran yang kering dan tanpa tujuan. Realisasi atman menjadi tujuan setiap darsana walaupun dalam berbagai kapasitas yang berbeda, Veda menyatakan “ Atma va’re drastavyah “ (Atman agar direalisasikan) atau kembalinya kedudukan asli atman sebagai pelayan abadi Tuhan. Atman merupakan asas inti dari setiap kehidupan sehingga harus dipahami keberadaannya.
Pada intinya secara esensial, dalam konteks agama maupun darsana, terdapat sebuah landasan bahwasannya didalam diri manusia terdapat asas yang sifatnya abadi dalam diri manusia, yaitu atman. Atman sebagai asas roh dan badan sebagai asas materi, atman sebagai entitas yang independent dan kekal selalu bersifat murni terbebas dari berbagai mala(kekotoran). Mengembalikan atman yang sifatnya abadi menuju sumber keabadian inilah yang menjadi tujuan bersama antara darsana dan agama. Atman didalam Bhagavad Gita digambarkan sebagai berikut :
  • Acchedya artinya tidak terlukai oleh senjata.
  • Adahya artinya tidak dapat terbakar.
  • Akledya artinya tak terkeringkan.
  • Acesyah tak terbasahkan.
  • Nitya artinya abadi.
  • Sarwagatah artinya ada dimana mana.
  • Sthanu artinya tidak berpindah pindah
  • Acala artinya tidak bergerak.
  • Sanatama artinya selalu sama.
  • Awyakta artinya tidak terlahirkan.
  • Achintya artinya tidak terpikirkan.
  • Awikara artinya tidak berubah.
Karena sifat darsana sebagai pandangan yang merupakan akibat dari aktifitas ‘melihat’, maka dapat disadari bahwa ada beberapa pandangan (darsana) dalam tradisi intelektual India, secara umum filsafat India (Veda) dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu :
1.    Pandangan yang orthodox, disebut juga Astika, kelompok ini secara langsung maupun tidak langsung mengakui otoritas Veda sebagai sumber ajarannya. Terdiri dari 6 aliran filsafat (Sad Darsana) yang pada akhirnya disebut sebagai filsafat Hindu, terdiri dari :Nyaya, Vaisesika, Samkhya, Yoga, Purwwa Mimamsa, Wedanta (Uttara Mimamsa).
2.    Pandangan yang heterodox , disebut juga Nastika, kelompok ini tidak mengakui otoritas Veda sebagai sumber ajarannya. Terdiri dari Carwaka, Jaina, dan Buddha.

Enam aliran filsafat Hindu (sad darsana) merupakan konsep yang saling berhubungan satu sama lain : 1. Nyaya dan Waiseika, 2. Samkhya dan yoga, 3. Mimamsa dan Wedanta. Waisesika merupakan tambahan dari Nyaya, Yoga merupakan tambahan dari Samkhya, dan Wedanta merupakan satu perluasan dan penyelesaian dari Samkhya.

1.2. Filsafat Nastika

1.2.1. Carwaka

Filsafat carwaka didirikan oleh Brhaspati yang ajarannya tertuang dalam Brhaspati sutra. Sistem filsafat ini mengembangkan tradisi heterodok, atheisme dan materialisme. Sering disebut dengan lokayata yang berarti berjalan dijalan keduniawian. Kata carwaka sendiri berasal dari kata ‘caru’ yang berarti manis dan ‘vak’ yang berarti ujaran, jadi carwaka berarti kata-kata yang manis. Carwaka mengajarkan tentang kenikmatan indrawi yang merupakan tujuan tertinggi hidup. Carwaka juga berarti seorang materialis yang mempercayai manusia terbentuk dari materi, dan tidak mempercayai adanya atman dan Tuhan, bentuk inilah yang menyebabkan ia sering dianggap sebagai hedonisme timur. Pengetahuan yang valid hanya didapatkan dengan pratyaksa (persepsi), yaitu melalui kontak langsung dengan indriya. Alam hanya terbentuk oleh 4 bhuta, elemen zat, yaitu : udara, api, air, dan tanah. Tujuan tertinggi dari manusia rasional adalah mencapai kenikmatan yang sebenar-benarnya di dunia, dan menghindari penderitaan. Adapun inti ajaran carwaka adalah :
1.    Tanah, air, api, dan udara adalah elemen dari alam semesta.
2.    Tubuh, indra, dan objek-objek merupakan hasil kombinasi dari berbagai elemen alam.
3.    Kesadaran muncul dari material seperti sifat alkohol anggur yang muncul dari anggur yang dipermentasi.
4.    Tidak ada roh, yang ada adalah tubuh yang sadar
5.    Kepuasan adalah satu-satunya tujuan hidup manusia.
6.    Kematian adalah pembebasan.

1.2.2. Jaina

Filsafat jaina merupakan sistem filsafat yang mengembangkan tradisi atheisme namun spiritual, kata jaina sendiri berarti ‘penakluk spiritual’. Pengikut jaina mempercayai 24 tirthangkara (pendiri keyakinan), tirthangkara pertama adalah Rsabhadeva dan yang terakhir adalah Mahavira. Sistem ini menekankan pada aspek etika yang ketat, yang terutama adalah ahimsa. Jaina mengklasifikasikan pengetahuan menjadi 2, yaitu :
1.    Aparoksa : pengetahuan langsung, terdiri dari avadhi (kemampuan melihat hal-hal yang tidak nampak oleh indra), manahparyaya (telepathi), dan kevala (kemahatahuan).
2.    Paroksa : pengetahuan antara, terdiri dari mati (mencakup pengetahuan perseptual dan inferensial) dan sruta (pengetahuan yang diambil dari otoritas)
Jaina menerima tiga jenis pramana, yaitu pratyaksa (persepsi), anumana (inferensi), dansruta (otoritas). Jaina meyakini tentang adanya pluralisme roh, terdapat roh-roh sesuai dengan banyaknya tubuh. Tidak hanya roh dalam manusia, binatang, dan tumbuhan, tapi meyakini hingga roh-roh yang ada dalam debu. Roh memiliki kualifikasi tinggi dan rendah, namun semuanya mengalami belenggu dalam pengetahuan yang terbatas. Belenggu dapat dihilangkan dengan :
1.    keyakinan yang sempurna terhadap ajaran guru-guru jaina.
2.    Pengetahuan benar dalam ajaran-ajaran tersebut.
3.    Perilaku yang benar. Perilaku ini meliputi, tidak menyakiti dan melukai seluruh mahluk hidup, menghindari kesalahan mencuri, sensualitas, dan kemelekatan objek-objek indriya.
Dengan tiga hal tersebut maka perasaan akan dikendalikan, dan karma yang membelenggu roh akan hilang, hingga roh mencapai kesempurnaan alamiahnya yang tak terbatas. Jaina tidak mempercayai dengan adanya Tuhan, para tirthangkara menggantikan tempatNya. Jaina mengenal lima disiplin spiritual, yang terdiri dari :
1.    Ahimsa (non kekerasan)
2.    Satya (kebenaran)
3.    Asteya (tidak mencuri)
4.    Brahmacarya (berpantang dari pemenuhan nafsu, baik pikiran, kata-kata, dan perbuatan)
5.    Aparigraha (kemelekatan dengan pikiran, kata-kata, dan perbuatan)

1.2.3. Buddha

Filsafat Buddha lahir dari ajaran-ajaran Buddha Gautama pada abad 567 sm, ajarannya dapat dikatakan bersifat atheisme dan spiritual. Buddha menekankan pada etika, cinta kasih, persaudaraan, menolak sistem kasta (penympangan sistem Varna), dan menolak otoritas Weda dan pelaksanaan yajna. Tujuan akhir perjalanan hidup manusia adalah nirwana, bukan sebagai karunia Tuhan dan Dewa-Dewa, namun diperoleh melalui usaha diri sendiri. Pencerahan yang didapatkan oleh Sidharta Gautama meliputi empat kebenaran utama (catvari arya-satyani), yaitu :
1.    Kebenaran bahwa ada penderitaan.
2.    Kebenaran bahwa ada penyebab penderitaan.
3.    Kebenaran bahwa ada penghentian penderitaan.
4.    Kebenaran bahwa ada yang menghilangkan penderitaan.
Ajaran Buddha sering pula disebut dengan ‘jalan tengah’ (madhyama marga), ajaran-ajaran pokoknya dibukukan dalam tiga kitab suci (tripitaka yang berarti tiga keranjang pengetahuan), yang terdiri dari : Vinaya pitaka yang membahas tata laksana bagi masyarakat umum, Sutta pitaka yang membahas upacara-upacara dan dialog berkaitan dengan etika, dan Abhidhamma pitaka yang berisi eksposisi teori-teori filsafat Buddha. Kebenaran bahwa ada yang menghilangkan penderitaan, terdiri dari 8 jalan utama, yaitu :
1.    Pandangan yang benar (samyagdrsti)
2.    Determinasi yang benar (samyaksamkalpa)
3.    Perkataan yang benar (samyalgwak)
4.    Perilaku yang benar (samyakkarmanta)
5.    Cara hidup yang benar (samyagajiva)
6.    Usaha yang benar (samyagvyayama)
7.    Sikap pikiran yang benar (samyaksmrti)
8.    Konsentrasi yang benar (samyaksamadhi)
Doktrin Buddha tidak mengakui eksistensi Atman dan Tuhan, namun mengadopsi bentuk keyakinan seperit hukum karma, reinkarnasi, dan pembebasan (nirwana)

1.3. Filsafat Astika ( Sad Darsana)

1.3.1. Nyaya Darśana

Nyaya darsana merupakan merupakan dasar dan pengantar dari seluruh pengajaran filsafat Astika yang dianut oleh umat Hindu dewasa ini. Nyaya Sutra yang digunakan sebagai sumber dari filsafat Nyaya ditulis oleh Rsi Gautama atau sering pula dikenal dengan nama Aksapada atau Dirghatapas. Nyaya berarti ‘argumentasi’, sehingga sering pula disebut sebagai Tarka vadaatau diskusi tentang suatu darsana atau pandangan filsafat. Didalam Nyaya darsana sendiri terkandung ilmu perdebatan (Tarka vidya) dan ilmu diskusi (vada vidya) yang berarti bersifat analitik dan logis. Dari konsep ini maka dapat diketahui bahwasannya Nyaya menekankan pada aspek logika dan nalar dengan pendekatan ilmiah dan realisme.
Nyaya merupakan alat utama untuk meyakini sesuatu dengan penyimpulan yang tak terbantahkan, yang dilalui dengan pengujian dengan berbagai argumentasi dan melewati berbagai perbantahan sehingga membentuk suatu keyakinan yang penuh.  Menurut konsep Nyaya, pengetahuan menyatakan 4 kadaan, yaitu :
1.    Subyek atau si pengamat (pramata)
2.    Obyek (Prameya)
3.    Keadaan hasil dari pengamatan (Pramiti)
4.    Cara mengetahui (Pramana)
Obyek yang diamati (Prameya) berjumlah 12, yaitu :
1.    Roh (Atman)
2.    Badan (Sarira)
3.    Indriya
4.    Obyek Indriya (Artha)
5.    Kecerdasan (Buddhi)
6.    Pikiran (Manas)
7.    Kegiatan (Pravrrthi)
8.    Kesalahan (dosa)
9.    Perpindahan (Pretyabhava)
10.                Buah atau hasil (Phala)
11.                Penderitaan (Duhkha)
12.                Pembebasan (Apawarga)
Nyaya darsana yang bertindak pada garis ilmu pengetahuan, menghubungkan Vaisesika pada tahapan dimana materi-materi spiritual (adhyatmika) seperti: jiwa (roh pribadi), jagat (alam semesta), Isvara (Tuhan), dan Moksa (pembebasan), yang disbut Apawarga oleh Vaisesika. Nyaya dan Vaisesika mempercayai Tuhan yang berpribadi, kejamakan dari roh dan alam semesta yang berupa atom-atom. Nyaya Darsana mendiskusikan kebenaran mendasar melalui bantuan 4 cara pengamatan (Catur Pramana) :
  • Pratyaksa pramana (pengamatan langsung).
  • Anumana pramana (melalui penyimpulan).
  • Upamana pramana (melalui perbandingan).
  • Sabda pramana (melalui penyaksian).

Pratyaksa pramana
Pratyaksa pramana atau pengamatan secara langsung melalui panca indriya dengan obyek yang diamati, sehingga memberi pengetahuan tentang obyek-obyek, sesuai dengan keadaannya. Pratyaksa pramana terdiri dari 2 tingkat pengamatan, yaitu :
1.    Nirwikalpa pratyaksa (pengamatan yang tidak menentukan) pengamatan terhadap suatu obyek tanpa penilaian, tanpa asosiasi dengan suatu subyek,
2.    Savikalpa pratyaksa (pengamatan yang menentukan) pengamatan terhadap suatu obyek dibarengi dengan pengenalan cirri-ciri, sifat-sifat dan juga subyeknya.

Anumana pramana
Anumana pramana merupakan hasil yang diperoleh dengan adanya suatu perantara diantara subyek dan obyek, dimana pengamatan langsung dengan indra tidak dapat menyimpulkan hasil dari pengamatan. Perantara merupakan suatu yang sangat berkaitan dengan sifat dari obyek.
Proses penyimpulan melalui beberapa tahapan, yaitu :
1.    Pratijna : memperkenalkan obyek permasalahan tentang kebenaran pengamatan.
2.    Hetu : alasan penyimpulan
3.    Udaharana : menghubungkan dengan aturan umum itu dengan suatu masalah.
4.    Upanaya : pemakaian aturan umum pada kenyataan yang dilihat.
5.    Nigamana : penyimpulan yang benar dan pasti dari seluruh proses sebelumnya.

Upamana pramana
Upamana pramana  merupakan cara pengamatan dengan membandingkan kesamaan-kesamaan yang munkin terjadi atau terdapat dalam suatu obyek yang di amati dengan obyek yang sudah ada atau pernah diketahui.

Sabda pramana
Sabda pramana merupakan pengetahuan yang diperoleh melalui kesaksian dari orang-orang yang dipercaya kata-katanya, ataupun dari naskah-naskah yang diakui kebenarannya. Kesaksian terdiri dari 2 jenis :
1.    Laukika sabda : kesaksian yang didapat dari orang-orang terpercaya dan kesaksiannya dapat diterima akal sehat,
2.    Vaidika sabda : kesaksian yang didasarkan pada naskah-naskah suci Veda sruti.

Tuhan, Jiwa dan Alam Semesta
Dalam konsep Nyaya, seluruh perbuatan manusia di dunia menghasilkan buah dari perbuatan yaitu adrsta. Adrsta berada dibawah pengawasan langsung dari Tuhan, dan sekaligus berperan pada nasib setiap individu. Tuhan merupakan kepribadian yang terbebas dari pengetahuan palsu (mithya jnana), kesalahan (adharma), kelalaian (pramada). Beliau adalahesa memiliki pengetahuan abadi (nitya jnana), kehendak kegiatan (iccha kriya), beliau pula bersifat meresapi segala (wibhu).
Jiwa merupakan keberadaan nyata yang keseluruhan dan kesatuannya abadi. Sifat-sifat jiwa adalah keengganan, kemauan, kesenangan, derita, kecerdasan, dan intuisi. Obyek yang menyatakan ‘aku’ adalah jiwa, dan ia bersifat abadi walau badannya telah hancur.
Alam semesta merupakan gabungan atom-atom yang abadi (paramanu), yang terdiri dari unsur-unsur fisik, yaitu : tanah (prthiwi), air (apah), api (tejas), dan udara (vayu)

Keterikatan dan Pembebasan
Dunia tersusun atas kesalah pengertian (mithya jnana), kesalahan (dosa), kegiatan (prawrrti), kelahiran (janma), dan penderitaan (duhkha). Mithya jnana merupakan awal dari penderitaan yang menyebabkan kesalahan tentang suka dan tidak suka (raga-dwesa). Dari raga-dwesa muncullah perbuatan yang baik dan jahat, sehingga terus mengalami reinkarnasi, penghapusan raga-dwesa inilah yang menjadi pokok Nyaya darsana untuk mencapai pembebasan atau pelepasan (apawarga). Pelepasan (apawarga) dapat dicapai dengan mendapatkan pengetahuan yang sebenarnya, melepaskan berbagai kesalahan yaitu : kasih sayang (raga), keengganan (dwesa) dan kebodohan (moha). Keengganan (dwesa) termasuk rasa kemarahan, kebencian, iri hati dan dendam. Kebodohan (moha) termasuk rasa curiga, kesombongan, kelalaian, dan pengertian salah. Pelepasan (apawarga) merupakan pembebasan mutlak dari penderitaan namun bukan penghilangan sang Diri, ia hanya bersifat penghancuran belenggu.

1.3.3. Sāmkhya Darśana

Sri Kapila Muni merupakan pendiri dari system filsafat samkhya, beliau sering pula disebut sebagai putra dari Brahma dan awatara dari Sri Visnu. Kata ‘Samkhya’ berarti jumlah, dan system dari filsafat samkhya memberikan prinsip dari alam semesta yang berjumlah 25 prinsip (tattwas). Istilah samkhya juga dipergunakan dalam pengertian ‘vicara’ yaitu perenungan filosofis. 25 prinsip (tattwas) yang diberikan oleh samkhya darsana apabila dibagankan adalah sebagai berikut.
Dalam samkhya darsana menggunakan 3 sistem pembuktian yang disebut dengan tri pramana, yaitu : 1). Pratyaksa pramana (pengamatan), 2). Anumana pramana (penyimpulan), 3). Apta wakya (benar, sesuai dengan weda dan guru yang mendapatkan wahyu).
Samkhya darsana bersifat dualistik dan pluralitas karena mengajarkan bahwasannya purusa sebagai asas roh yang jumlahnya banyak sekali. Prakrti dan purusa merupakan asas yang sifatnya tanpa awal (anadi), tanpa akhir dan tak terbatas (ananta). Ketidak berbedaan diantara purusa dan prakrti merupakan penyebab dari kelahiran dan kematian, dan pembedaan dari keduanya akan memberikan pembebasan (mukti). Purusa bersifat tidak terikat (asanga) dan merupakan kesadaran yang meresapi segalanya dan abadi, sedangkan Prakrti merupakan pelaku dan penikmat. Purusa bersifat abadi dan tidak berubah, purusa hanya menjadi saksi namun pernyataan kehadirannya seolah-olah terlibat dalam hukum reinkarnasi, hal ini tidak lain karena kemelekatannya dengan prakrti.
Prakrti berasal dari akar kata ‘pra’ (sebelum, ‘kr’ (membuat), jadi prakrti artinya ‘yang mula-mula’ prakrti sering pula disebut dengan pradhana (pokok) karena semua akibat ditemukan padanya dan merupakan sumber dari alam semesta. Prakrti merupakan ada yang tanpa penyebab, sedangkan hasil-hasilnya disebabkan dan bergantung padanya. Prakrti merupakan ketiadaan dari kecerdasan yang hanya bergantung pada unsur pokok gunanya sendiri, yang terdiri dari 3 guna yaitu : 1). Sattwa (kemurnian, sinar, selaras), 2). Rajas (nafsu, kegiatan, gerak), 3). Tamas (kegelapan, kemalasan, tanpa kegiatan). Kata guna sendiri berarti tali yang nantinya menjadi pembelenggu dari roh. Ketiga guna ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena sifatnya saling menunjang.
Pertemuan antara purusa dan prakrti membuat prakrti berkembang dibawah pengaruh purusa, pertemuan ini mulai mengguncang guna yang ada dalam prakrti sehingga membuatnya beraktifitas. Dari prakrti muncullah benih besar alam semesta yang maha luas (Mahat). Kesadaran roh membuatnya sebagai sesuatu yang sadar, sebagai kebangkitan alam dari kandungan kosmis, dari penampakan pikiran pertama ini pula disebut dengan intelek (buddhi). Produk yang kedua adalah ahamkara, sebagai rasa aku dan milikku (abhimana). Dari ahamkara melalui ekses elemen satwa muncullah pikiran (Manas), lima organ pengetahuan (panca budhindriya) yang terletak di telinga, kulit, mata, lidah, hidung  (srotendriya, twagindriya, cakswindriya, jihwendriya, ghranendriya), lima organ tindakan (panca karmendriya) yaitu : mulut, tangan, kaki, dubur dan kelamin (wagindriya, panindriya, padendriya, paywindriya, upasthendriya), dan lima elemen halus (panca tan matra) yang merupakan potensi dari suara, sentuhan, warna, rasa, bau. dari elemen halus (panca tan matra) muncul lima elemen kasar (panca maha bhuta) yaitu akasa, udara, api, air dan tanah. Akhirnya dari evolusi ini ada alam semesta beserta isinya.
Seluruh unsur dari pertemuan purusa dan prakrti akan selalu ada sepanjang zaman, walau dalam bentuknya yang berbeda-beda. Seperti halnya manusia ketika mati terurai kembali jasadnya menjadi mahabhuta. Hingga diyakini pada akhir zaman terjadi peleburan alam semesta maka dari pergerakan evolusi, bergerak secara terbalik dan berlawanan dan pada akhirnya semua masuk kembali kedalam prakrti, inilah yang disebut dengan proses penyusutan atau penguncupan.
Dalam konsep samkhya, manusia yang lahir di dunia, terikat oleh penderitaan (dukha) yang berjumlah tiga, yaitu : 1). Adhyatmika : penderitaan yang disebabkan oleh penyebab psiko-fisika intra organik yang mencakup semua penderitaan fisik dan mental, 2). Adhidaiwika: penderitaan yang disebabkan oleh penyebab super natural, 3). Adhibhautika : penderitaan yang disebabkan penyebab alam ekstra organik seperti manusia atau binatang. Oleh karenanyalah tujuan hidup manusia adalah terlepas dari penderitaan tersebut, sehingga mencapai moksa yaitu penghentian total dari semua jenis penderitaan. Jiwa yang bersifat abadi seolah-olah mengalami penderitaan karena pengaruh awidya (kegelapan), jadi belenggu dianggap fiksi belaka karena ego (ahamkara) yang menjadi milik dari prakrti. Maka dari pembedaan dari jiwa dan bukan jiwalah yang seharusnya dipahami, dengan pemahaman ini maka diharapkan jiva berhenti terpengaruh oleh suka dan duka. Pembebasan dapat diraih ketika manusia masih hidup (jivanmukti) atau setelah meninggal (vedeha mukti). Pembebasan tidak saja dapat dicapai oleh pemahaman atau pembedaan antara jiwa dan bukan jiwa, namun perlu pula menggunakan metode spiritual, inilah salah satu yang nantinya ditambahkan oleh filsafat Yoga.

1.3.4. Yoga Darśana

Maharsi Patanjali merupakan pendiri dari sistem filsafat Yoga yang merupakan tambahan dari filsafat samkhya, namun pendiri dari sistematika yoga adalah Hiranyagarbha. Kata yoga secara etimologi berasal dari kata ‘yuj’ yang berarti menghubungkan, jadi yoga merupakan pengendalian aktivitas pikiran dalam rangka penyatuan roh individual dengan roh tertinggi. Dalam Yoga Sutra disebutkan “ Yogas Citta Wrtti Nirodah ” . Yoga adalah pengekangan atau pengendalian benih- benih pikiran ( citta ) dari pengambilan berbagai wujud ( perubahan : Wrtti ).
System filsafat yoga mengakui eksistensi Isvara, sehingga bersifat Sa-Isvara. Isvara (Tuhan) merupakan purusa istimewa yang tidak terpengaruh oleh penderitaan, beliau merupakan asas yang kemahatahuan, yang tidak terpengaruh oleh waktu dan ruang, abadi, terbebas selamanya. Evolusi semesta dalam yoga tetap menerima 25 tattwas dari samkhya, namun menambahkan Isvara (Tuhan) sebagai saksi abadi.
‘Yoga Sutra’ yang ditulis oleh Maharsi terdiri dari 4 bagian terdiri dari 196 sutra ,yang secara garis besar isinya sebagai berikut :
1.    Bagian pertama disebut Samadhi-pada. Isinya menerangkan tentang sifat, tujuan dan bentuk ajaran yoga. Pada bagian ini pula dijelaskan adanya     perubahan-perubahan pikiran dalam melakukan yoga.
2.    Bagian kedua disebut Sadhana-pada. Isinya menjelaskan tentang tahapan-tahapan pelaksanaan yoga, cara mencapai samadhin dan pahala yang akan didapat oleh mereka yang telah mencapai samadhi.
3.    Bagian ketiga disebut Wibhuti-pada. Isinya mengajarkan tentang hal-hal yang bersifat batiniah, tentang kekuatan gaib yang didapat oleh mereka yang melakukan praktek yoga.
4.    Bagian keempat disebut Kaiwalya–pada. Isinya melukiskan tentang alam kelepasan dan keadaan jiwa yang telah dapat mengatasi keterkaitan duniawi dan penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan.
Pada intinya ajaran yoga bertujuan untuk mengembalikan jiwa individu kepada kedudukan asalnya sebagai pelayan Tuhan yang abadi dengan jalan membersihkannya dari segala ikatan maya (Triguna). Sehingga ia sadar akan jati dirinya (Atman) ikatan yang diakibatkan oleh perubahan citta yang muncul dari rintangan-rintangan guna, menimbulkan kesusahan dan kesedihan di dalam hidup yang disebut klesa. Klesa ada lima bagian yaitu :
  • Awidya :Kebodohan.
  • Asmita : Keakuan.
  • Raga : Keterikatan.
  • Dwesa : Kebencian.
  • Abhiniwesa : Ketakutan dan kematian.
Kelima klesa ini dapat dilenyapkan dengan jalan melaksanakan kriya yoga sehingga  dalam proses yoga mampu membantu guna mencapai samadhi dengan jalan melaksanakanKriya yoga. Adapun mengenai Kriya –Yoga di dalam Yoga Sutra ( II-1 ) disebutkan :
TAPAH SWADHYAYESWARA PRANIDHANANI KRIYA YOGAH
Artinya :
Kesederhanaan (tapah), mempelajari kitab suci (swadhyaya), dan penyerahan hasilnya (pengabdian ) kepada Tuhan, semuanya ini merupakan ‘ disiplin yoga yang disebut Kriya- Yoga.
Apabila kelima klesa tersebut belum dihilangkan, maka ia akan terus-menerus mengganggu citta atau pikiran dalam proses pencapaian samadhi, yang  diakibatkan oleh gerakan Tri Guna.Akibatnya didalam proses yoga ada lima  tingkatan keadaan mental yang dialami bagi yang melaksanakan yoga tersebut yaitu :
  • Ksipta :  pikiran tidak diam-diam dan selalu mengembara.
  • Mudha : pikiran itu malas.
  • Wiksipta : pikiran itu bingung.
  • Ekagra : pikiran itu terpusat pada satu objek.
  • Nirudha : pikiran itu tenang terkendali.
Yoga secara umum dipilah menjadi dua bagian yaitu Hatha Yoga (Gratastha Yoga ), dan Samadhi Yoga yang salah satu bentuknya adalah Raja Yoga. Hatha yoga secara spesifik menangani proses latihan fisik guna membentuk jasmani yang kokoh, nantinya menjadi dasar menuju tingkatan Raja Yoga, guna kemampuan untuk mengendalikan gerak pikiran, mengingat didalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang bersih .
Maharsi patanjali memberikan tahap–tahapan dalam pelaksanaan yoga yang lebih dikenal dengan sebutan Astangga Yoga. Adapun pembagiannya diuraikan sebagai berikut :
YAMA NIYAMASANA PRANAYAMA PRATYAHARA DHARANA DHYANA SAMADHA YO’STAW.ANGGANI.
Artinya :
Pengekangan diri (Yama), kepatuhan yang mantap ( Niyama), sikap badan (Asana), pengaturan pernafasan (Pranayama), penyaluran (Pratyahara), pemusatan (konsentrasi: Dharana ), perenungan (Dhyana), penyerapan (Samadhi), semuanya ini adalah bagian (dari disiplin diri dari Yoga ).

1.3.5. Mīmāmsa Darśana

Filsafat mimamsa atau sering pula disebut purwa mimamsa didirikan oleh Sri Jaimini, yang merupakan penyelidikan ke dalam bagian kitab suci Weda.  Disebut pula purwa mimamsa karena dianggap lebih awal dari uttara mimamsa (Wedanta) dalam pengertian logika, namun bukan dalam pengertian kronologis. Kata ‘mimamsa’ berarti menganalisa dan mengerti seluruhnya, yang pada intinya memberikan landasan filsafat pada ritual-ritual dalam Weda. Ada dua dukungan yang diberikan oleh mimamsa, yaitu :
1.    memberikan sebuah metodelogi interpretasi agar ajaran-ajaran Weda yang rumit mengenai ritual-ritual bisa dipahami, diharmoniskan dan diikuti tanpa kesulitan.
2.    dengan menyediakan suatu justifikasi filsafat ritualisme.
Sri Jaimini menerima 3 pramana tentang pengamatan, yaitu : 1). Pengamatan (pratyaksa), 2). Penyimpulan (anumana), dan 3). Otoritas pembuktian atau Weda (Sabda). Menurut mimamsa, Weda merupakan apuruseya atau bukan karya manusia, oleh karenanya weda terbebas dari berbagai bentuk kesalahan yang di buat oleh manusia. Dalam sutra pertama mimamsa sutra disebutkan ‘athato dharmah jijnasa’ yang sekaligus menjadi kesimpulan dari tujuan filsafatnya, yaitu untuk mengetahui dharma dan kewajiban dalam pelaksanaan upacara yang dilaksanakan dalam kitab suci Weda.
Kitab Weda yang termasuk sruti merupakan otoritas tertinggi dalam pelaksanaannya yang niscaya mengantarkan umat menuju kebahagiaan sejati. Dilanjutkan dengan smrti pada urutan kedua, yang apabila bertentangan dengan sruti, maka smrti dapat diabaikan. Hal ini sebenarnya telah ditegaskan pula di dalam kitab Manawa Dharmasastra II.6 mengenai garis otoritas yang patut dipedomani, yaitu :
Wedo’kilo dharma mulam
Smrti’sile ca tadwidam
Acara’scaiwa sadhunem
Atmanastustirewa
Artinya :
Seluruh weda merupakan sumber utama dari pelaksanaan dharma, kemudian barulah smrti disamping sila, kemudian acara (tradisi para orang suci), serta akhirnya atmanastuti (kepusan diri sendiri).
Dalam pandangan Rsi Jaimini, pelaksanaan korban suci (yajna) hendaknya dilakukan dengan mekanisme yang tepat. Dilandasi dengan keyakinan (sradha) dan kepatuhan (bhakti) sehingga bisa memberikan manfaat dalam mencapa kelepasan. Pada intinya korban suci merupakan pengorbanan kepentingan diri, keakuan dan raga dwesa (rasa suka dan benci). Dari sini pula umat diwajibkan melaksanakan nitya karma seperti sandhya dan naimitika karma selama ada kesempatan, ini merupakan kewajiban tanpa syarat.
Sang diri sejati menurut mimamsa berbeda dengan indriya dan intelek, ia merupakan penikmat sedangkan badan merupakan tempat untuk mengalami dan indriya sebagai peralatan untuk mengalami. Sang diri seolah merasakan karena menyatu dengan badan, ia sesungguhnya bukanlah indriya dan selalu abadi walau badan dan indriya telah hancur. Pelaksanaan korban akan mengantar manusia untuk mencapai sorga.

1.3.2. Waiśesika Darśana

Waisesika darsana didirikan oleh Rsi Kanada yang dikenal pula dengan nama Aulukya dan Kasyapa. Pada dasarnya waisesika merupakan pengembangan dari Nyaya darsana, prinsip-prinsip pokok mengenai hakekat sang diri dan teori alam semesta tetap sama. Waisesika mengambil nama ‘visesa’ yang berarti kekhususan yang merupakan pembeda ciri-ciri dari benda-benda. Vaisesika dimulai dengan pencarian atas kategori-kategori (padartha) yaitu penghitungan sifat-sifat tertentu yang dapat dikatakan tentang benda-benda yang ada. Sebuahpadartha merupakan suatu obyek yang dipikirkan (artha) dan diberi nama (pada). Padarthadalam vaisesika darsana berjumlah 7 kategori, yaitu :
1.    Drawya : benda-benda atau substansi yang berjumlah 9 substansi, yaitu : tanah (prthivi), air (apah), api (tejah), udara (vayu), ether (akasa), waktu (kala), ruang (dis), roh (jiwa), dan pikiran (manas). Empat drawya pertama dan drawya terakhir (pikiran) merupakan substansi abadi yang tidak meresapi segalanya  namun dalam persenyawaan sifatnya tidak abadi
2.    Guna : sifat-sifat atau ciri-ciri dari substansi, terdiri dari : rupa atau warna, rasa, bau (gandha), sentuhan (sparsa), jumlah (samkhya), ukuran (parimana), keanekaragaman (prthaktva), persekutuan (samyoga), keterpisahan (vibhaga), keterpencilan (paratva), kedekatan (aparatva), bobot (gurutva), keenceran (dravatva), kekentalan (sneha), suara (sabda), sifat pembiakan sendiri (samskara), budhi (pemahaman), sukha (kesenangan), penderitaan (duhkha), kehendak (iccha), kebencian (dvesa), usaha (prayatna), kebajikan (dharma), kekurangan/cacat (adharma).  8 guna yang terakhir merupakan sifat dari roh, sedangkan yang lain milik dari substansi material.
3.    Karma : kegiatan yang terkandung dalam gerakan, terdiri dari gerakan keatas (utksepana), gerakan kebawah (avaksepana), gerakan membengkok (A-kuncana), gerakan mengembang (prasarana), gerakan menjauh dan mendekat (gamana).
4.    Samanya : bersifat umum yang menyangkut 2 permasalahan :1) sifat umum yang lebih tinggi dan lebih rendah, 2) jenis kelamin dan spesies.
5.    Visesa : kekhususan yang dimiliki oleh 9 substansi abadi (drawya)
6.    Samawaya : keterpaduan satu jenis, yaitu keterpaduan anatara substansi dengan sifatnya.
7.    Abhava : ketidakadaan dan penyangkalan terdiri dari 4 jenis, yaitu : 1). Pragabhava : ketidakadaan dari suatu benda sebelumnya, 2). Dhvasabhava : Penghentian keberadaan, 3). Atyantabhava : ketidak adaan timbal balik, 4). Anyonyabhava : ketiadaan mutlak.
Waisesika seperti halnya Nyaya darsana menyatakan bahwa penciptaan alam semesta didasarkan pada dua penyebab, yaitu nimita sebagai penyebab efisien dan upadana sebagai penyebab material. Isvara sebagai nimita karana menciptakan alam semesta dengan penggunaan upadana.

1.3.6. Wedānta Darśana

Wedanta (Vedanta) yang disebut juga Uttara Mimamsa merupakan sistem filsafat yang bersumber langsung pada WedaWedanta berarti “bagian akhir Weda“. Bagian akhir Wedadisebut dengan istilah upanisad yang artinya “duduk dekat dengan guru” dalam rangka menerima ajaran-ajaran rahasia Tuhan melalui seorang guru. Sumber filsafat Vedanta dari kitab-kitab; Upanisad, Bhagavad-gita dan Brahma-sutra, yang ketiganya disebut Prastana-traya.
Usaha pertama yang dilakukan untuk menyusun ajaran Upanisad secara sistematis dilakukan oleh Badarayana (Sri Wyasa) di dalam kitabnya yang disebut Wedanta-sutra atauBrahma-sutra (kira-kira 400 Sebelum Masehi). Wedanta-sutra yang terdiri dari 555 sutra dibagi menjadi empat bab, yaitu Bab I, menunjukkan bahwa Tuhan adalah realitas tertinggi. Bab II, membicarakan keberatan-keberatan yang diajukan oleh orang-orang yang tidak menyetujuainya serta menunjukkan bahwa ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan Wedanta tidak dapat dipertahankan. Bab III, membicarakan tentang cara pencapaian Brahma widya. Bab IV, membicarakan tentang buah dari Brahma widya dan juga uraian tentang bagaimana roh pribadi dapat mencapai Brahman.
Filosofi kehidupan Vedanta merupakan pelengkapan dan penyempurnaan filsafat hidupMimamsa. Kehidupan bagi mereka yang mengasingkan diri dari aktivitas dunia (sannyasin)termasuk dalam tahap terakhir dari Catur Asrama dan dipandang sebagai kulminasi kehidupan setiap orang.
Berikut adalah rumusan-rumusan dalam konsep Wedanta yang terkenal :
  • Ekam Ewa Adwityam : Realitas hanya satu, tiada yang ke dua.
  • Brahman Satyam Jagan Mithya, Jiwo Brahmaiwa Na Aparah : Sesungguhnya hanya keberadaan Brahman (Tuhan), dunia bersifat sementara, roh pribadi dan Brahman secara kualitas sama.
  • Sarwam Khalwidam Brahma : Sesungguhnya semua ini adalah bersumber dari Brahman.
  • Satya Jnanam Anantam Brahma : Brahman adalah pengetahuan dan tak terbatas
  • Brahmawid Brahmaiwa Bhawati : Yang mengetahui Brahman adalah Brahman
  • Santam Siwam Adwaitam : Brahman adalah kedamaian , keberuntungan dan tanpa dualitas
  • Ayam Atma Santah : Atman ini adalah keheningan
  • Asanggo Ayam Purusa : Purusa ini tak tersentuh
  • Santam, Ajaram, Amrtam, Abhayam, Param : Brahman ini adalah kedamaian, tanpa usia tua, abadi, tanpa kekuatan, dan tertinggi.

Tuhan dalam konsep Wedanta bersifat mutlak dengan memiliki tiga aspek yang tidak bisa dipisahkan, yaitu Bhagavan (Tuhan yang berwujud pribadi), Brahman (Tuhan impersonal) dan Paramatman (Tuhan yang meresap dalam segala sesuatu). Tuhan merupakan penyebab material dan instrumental dari alam semesta. Tuhan mengembangkan dirinya menjadi alam semesta guna lila dan kridaNya, namun beliau tetap utuh dan tidak berubah. Tuhan merupakan paramarthika satta (realitas mutlak), alam dunia adalah wyawaharika satta (realitas relatif), dan obyek-obyek dari mimpi adalah prathibasika satta (realitas yang nyata).
Maya merupakan karana sarira dari Tuhan, namun demikian maya merupakan sakti(kekuatan)  dari Tuhan.  Maya memiliki 2 kekuatan, yaitu daya menyelubungi (awarana sakti) dan daya pemantulan (wiksepa sakti). Inilah yang menyebabkan tersembunyinya yang nyata dan membuat yang tidak nampak menjadi nyata. Jiwa atau roh dalam diri manusia diselubungi oleh lima lapisan yang disebut Panca Kosha yaitu : anna maya, prana maya, mano maya, wijnana maya, dan ananta maya ( badan fisik ).
Anna maya kosa merupakan lapisan makanan yang terdiri dari unsur : tanah,air, api, yang berada pada cakra- cakra terbawah yaitu muladhara, swadisthana, dan manipur cakra. Lapisan kedua yaitu prana maya kosha merupakan lapisan nafas (prana) terletak pada anahatadan wisudha cakra. Lapisan berikutnya yaitu manomaya kosha dan wijnana maya koshamerupakan pembentuk jiwa antah karana yang terdiri dari empat kesatuan yaitu jiwa kecerdasan terdiri dari dua aspek yaitu budhi dan manas, kesadaran ego ( Ahamkara ) dan Chitta berada pada Ajna Chakra dan sedikit diatas cakra ini. Dan yang terakhir yaitu ananda maya kosha berada di tengah- tengah kepala ( Sahasram ) cakra yang merupakan tempat atma dari lapisan jiwa terakhir.
Demikianlah panca kosha sebagai selubung dari atma.”Di dalam lapisan pertama Iswara memanifestasikan diri menjadi keanekaragaman kesadaran terhadap wujud misalnya hitam atau putih, pendek atau tinggi, tua atau muda. Di dalam lapisan prana maya kosha, Dia merasa hidup merasa lapar dan haus, sakit dan sehat. Di dalam lapisan mental dia berfikir dan memahami. Dan di dalam lapisan anandam Dia berbahagia dan ingin tinggal di dalam kebahagiaan abadi.


1.4. Filsafat Skolastik

1.4.1. Filsafat Adwaita

Sri Sankara merupakan yang melahirkan bentuk akhir dari filsafat adwaita, walaupun yang pertama mensistematis filsafat ini adalah parama guru dari Sankara, yaitu Rsi Gaudapada melalui karya beliau Mandukya Karika. Sri Sankara memberikan sentuhan akhir dan sempurna melalui ulasan beliau tentang Brahma Sutra yang dikenal dengan Sariraka Bhasya. Filsafat Adwaita dari Sankara merupakan filsafat yang menyatakan bahwa seluruhnya merupakan Brahman, dan perbedaan hanyalah khayalan. Hal ini tersimpul alam salah satu sloka, yaitu ‘Brahma Satyam Jagan Mithya, Jivo Brahmaiva Na Aparah’ yang berarti Hanya Brahmanlah yang nyata, dunia ini tidak nyata, dan jiwa atau roh pribadi sama dengan Brahman.
Brahman  tertinggi adalah tak berpribadi, tanpa guna dan atribut (nirguna), tanpa wujud (Nirakara), tanpa ciri-ciritertentu (Nirwisesa), abadi dan bukan pelaku dan perantara (akrta). Beliau adalah subyek penyaksi dan tidak akan pernah menjadi obyek, Beliau adalah tuggal, tak dapat digambarkan, karena penggambaran akan membentuk perbedaan. Itu pula sebabnya dalam kitab Upanisad disebutkan : Neti, Neti (bukan ini dan bukan itu). Bentuk kalimat negatif dalam upanisad ini bukanlah menyatakan ketiadaan, tapi Beliau adalah kesemestaan, tidak terbatas, memenuhi segala, tak berubah, ada dengan sendirinya, pengetahuan dan kebahagiaan itu sendiri. Nirguna Brahman dari Sankara menjadi Saguna Brahman (berpribadi) hanya karena disebabkan penyauannya dengan maya. Saguna dan Nirguna Brahman bukanlah dua Brahman yang berbeda atau bertentangan, Beliau adalah satu dari dua titik pandang yang berbeda. Nirguna merupakan yang lebih tinggi dipandang dari sudut transedental (Paramarthika), sedangkan Saguna dari sudut pandang relatif (Vyavaharika).

1.4.2. Filsafat Wisistadwaita

Pendiri filsafat wisistadwaita adalah Rsi Ramanuja, disebut filsafat wisistadwaita karena penanaman pengertian adwaita atau kesatuan dengan Brahman, dengan wisesa atau atribut. Sehingga dianggap sebagai filsafat monisme terbatas. Hanya Brahman yang ada, sedangkan yang lainnya merupakan perwujudan atau atributnya, Beliau merupakan satu keseluruhan yang komplek walau kenyataannya satu. Apabila Sri Sankara menganggap bahwa segala bentuk perwujudan dianggap tidak nyata dan sementara, sifatnya hanyalah hasil dari awidya atau  kegelapan, maka menurut Sri Ramanuja atribut itu nyata dan tetap, namun bergantung pada pengendalian satu Brahman.
Filsafat Wisistadwaita merupakan Waisnawaisme yang mengakui kejamakan, Brahman atau Narayana hidup dalam kejamakan bentuk dari roh-roh (cit) dan materi (acit). Ramanuja mensistemasir filsafat dari waisnawaisme dan disebut sebagai Sri Waisnawaisme, karena Sri atau Dewi Laksmi dibuat memiliki fungsi penting dalam pembebasan roh. Ramanuja menyamakan Tuhan dengan Narayana yang bersemayam di Waikuntha dengan Saktinya yaitu Laksmi sebagai Dewi kemakmuran, yang merupakan Ibu Tuhan, dialah yang memohonkan pembebasan dari para pemuja.

1.4.3. Filsafat Dwaita

Filsafat dwaita dikembangkan oleh Sri Madhwacarya yang bersumber dari kitab Upanisad, Brahma Sutra, dan Bhagawad Gita atau yang disebut dengan Prasthana Traya (tiga kitab). Filsafat dwaita merupakan dualis tak terbatas, waisnawaisme Sri Madhwacarya sering pula disebut dengan sad-waisnawaisme untuk membedakannya dengan Sri-Waisnawaisme dari Ramanujacarya. Filsafat dwaita membuat bembedaan yang mutlak antara Tuhan, obyek yang begerak dan obyek yang tidak bergerak, pembedaan mutlak merupakan prinsip dasar dari filsafat dwaita (Atyanta bheda darsana), disebut dengan Panca Bheda, yaitu :
1.    Perbedaan Tuhan dengan roh pribadi.
2.    Perbedaan antara Tuhan dengan materi.
3.    Perbedaan antara roh pribadi dengan materi.
4.    Perbedaan antara satu roh dengan yang lainnya.
5.    Perbedaan antara materi yang satu dengan lainnya.









BAB III

PENUTUP


3.1 Kesimpulan


a)       Dalam penerapannya filsafat digolongkan menjadi 3 bagian yaitu: Filsafat Nastika, Filsafat Astika dan Filsafat Skolastik.
b)      Filsafat Nastika dapatdibagi menjadi 3 golongan yaitu: Carwaka, Jaina dan Buddha.
c)       Filsafat Astika (Sad Darsana) adalah enam sarana pengajaran yang benar atau 6 cara pembuktian kebenaran. Adapun pembagiannya meliputi: Nyaya, Veisesika, Samkya, Yoga, Mimamsa dan Vedanta.
d)      Serta Filsafat Skolastik digolongkan menjadi 3 filsafat yaitu: Filsafat Adwaita, Filsafat Wisistadwaita dan Filsafat Dwaita.



3.2 Saran

                Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa dalam makalah ini ada kekurangan baik itu dari segi materi yang di sajikan ataupun beberapa hal lainnya yang kurang berkenan di dalam makalah ini. Namun daripada itu, kita sangat berharap makalah ini nantinya dapat bermanfaat dan dimanfaatkan dengan baik oleh para pembacanya. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih, bagi kalian yang sudah berkenan untuk membaca makalah ini dan semoga nantinya dapat bermanfaat.











DAFTAR PUSTAKA


Masniwara, I Wayan. 1998. Sistem Filsafat Hindu. Paramita: Surabaya.
Sumawa, I Wayan dan Tjokorda Raka Krisnu. 1996. Materi Pokok Darsana. Universitas Terbuka: Jakarta.
Sastrawan, Juli. 2013. Nyaya Darsana (Online).http://julisastrawan99.blogspot.com. Diakses Pada Tanggal 19 Desember 2014.
Krishna, Ida Bagus Wika. 2013. Nyaya Darśana (Filsafat Hindu) (Online).http://wikakrishna.wordpress.com. Diakses Pada Tanggal 19 Desember 2014. Baca Juga: Vaisesika Darsana (Makalah)





         




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pidarta Bahasa Bali

Pidarta Pidarta inggih punika daging pikayunan sane kawedar ring sane akeh, sane matetujon napi sane kabaosang jagi karesapang tur kalaksanayang. Tata Cara Mapidarta Pidarta Tutur(Ekstempore), inggih punika pidarta sane sampun karencanayang, utawi nenten ngangen teks. Pidarta Ardatutur(Memoriter), inggih punika pidarta sane ngabe ringkasan teks. Pidarta Dadakan(Impromtu), inggih punika pidarta sane nenten karencanayang, utawi dadakan. Pidarta Ngwacen Naskah(Manuskrip), inggih punika pidarta sane ngangen naskah, utawi ngwacen naskah. Wangun Pidarta (Format Pidarta) Murdha: Judul Pamahbah; Pembukaan, terdiri dari: Matur suksma, Pangastuti(salam), Ngaturang pangayubagia. Daging: isi Penutup, terdiri dari: Nyutetang, Matur suksma, Nunas ampura, Pangastuti pamuput. Tetikesan Mapidarta inggih punika hal-hal sane dados diperhatikan. Wicara Wirama Wirasa Wiraga Wates lengkara Liur Bebaosan Pidarta Dharma Wacana, inggih punika bebaosan pida

Tari Rejang Dewa

SENI BUDAYA TARI REJANG DEWA   OLEH : 1.     CHRISTINA BRITNEY LAKE                             (02) 2.     NI MADE DWI WAHYUNI APRILIA                (12) 3.     NI LUH PUTU INDAH PUTRI DENANTHI      (13) 4.     NI WAYAN SRI AYUNI                                         (15) 5.     PUTU WINIASTITI                                                 (17) SMK TI BALI GLOBAL JIMBARAN Tahun Ajaran 2017/2018 K ata Pengantar Puji syukur kepada Tuhan Yang maha Esa atas segala limpahan rakhmat-Nya dan berkah-Nya kepada kita semua, sehingga makalah yang kami buat ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak lain yang telah berkontribusi dengan memberikan kami informasi, pengetahuan maupun pikiran tentang materi yang kami buat. Dengan harapan penuh kami, kami menginginkan para pembaca dapat

Kekuasaan Negara

A. SISTEM PEMBAGIAN KEKUASAAN NEGARA REPUBLIK 1. MACAM-MACAM KEKUASAAN NEGARA             Kekuasaan merupakan kemampuan seseorang untuk memengaruhi orang lain supaya melakukan tindakan-tindakan yang dikehend      aki atau diperintahkannya. Sedangkan Kekuasaan negara merupakan kewenangan negara untuk mengatur seluruh rakyatnya guna mencapai keadilan dan kemakmuran, serta keteraturan. Disamping itu terdapat dua tokoh yang mengemukakan tentang kekuasaan negara yaitu, John Locke dan Montesquieu. 1.       Menurut John Locke yang dikutip oleh Riyanto (2006:273) bahwa kekuasaan negara dapat dibagi menjadi tiga macam, sebagai berikut. a)       Kekuasaan Legislatif, kekuasaan yang berwenang membuat dan membentuk UU. b)       Kekuasaan Eksekutif, kekuasaan yang berwenang melaksanakan UU dan mengadili setiap pelanggaran UU. c)       Kekuasaan Federatif, kekuasaan yang berwenang melaksanakan hubungan luar negeri. 2.       Sedangkan menurut Montesqueiu yang dikutip oleh Riyanto (2006